Kamis, 25 Juli 2013



Kebumen memiliki sebuah lokasi penting bagi studi Geologi yaitu Karang Sambung. Terletak kurang lebih 20 km dari kota Kebumen, sepanjang jalan menuju wilayah Karang Sambung, kita akan diberi sajian pesona alam yang indah. Bukan semata-mata pemandangan bentangan sawah atau rindang pepohonan pinus ketika perjalanan semakin meninggi ke utara, namun pesona khusus berupa batu-batuan alam yang besar dan membentang baik di sekitar jalanan yang dilalui atau di kelokan sungai di sebelah kiri atau kanan jalanan serta bebukitan.

Batu-batuan yang berada di wilayah Karang Sambung bukan batuan biasa atau batuan hasil lemparan material pegunungan. Batu-batuan yang tersedia di sejumlah tempat (areal pesawahan, tepi jalan, bebukitan, tepi sungai) merupakan batuan hasil pertemuan samudra dan benua yang diprediksi para geolog sekitar 65-120 juta tahun lalu.

Sejumlah peneliti mengatakan bahwa kawasan Karang Sambung sebagai “kotak hitam (black box) bagi segala proses alam semesta”[1]. Sebagian geolog lain mengatakan lokasi ini seperti ”Yellowstone National Park”-nya Indonesia”[2] serta ada pula yang mengungkapkan sebagai “Text Book Geologi[3]









Mengapa para peneliti tersebut mengatakan demikian? Mengutip penjelasan dalam sebuah laman sbb:

“Kepala Bagian Tata Usaha Unit Pelaksana Teknis Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI, Suyamto mengatakan, beberapa situs bisa dipelajari untuk mengetahui sejarah Bumi, khususnya proses evolusi lempeng Asia bagian tenggara.
Misalnya, situs batuan metamorf serpentinit di Pucangan. Batuan ini berwarna kehijauan dan berasal dari perut Bumi di bawah lantai samudra. Batu ini merupakan batu ultrabasa hasil pembekuan magma pada kerak samudra. Formasi batu ini berubah saat bersentuhan dengan air laut dan berubah lagi ketika masuk zona tunjaman dan terangkat ke permukaan Bumi.

Salah satu kekayaan utama cagar alam geologi ini adalah batuan metamorf sekis mika di Kali Brengkok. Di sini pengunjung bisa menyentuh langsung batuan mineral mika yang berkilau kala tertimpa sinar Matahari. Batuan tertua ini tersingkap dan menjadi pembentuk fondasi Pulau Jawa. Pengukuran dengan radioaktif menunjukkan batuan ini berumur 121 juta tahun, dari zaman kapur.

Batuan alas Pulau Jawa ini memiliki nilai ilmiah tinggi karena membuktikan bahwa sejak zaman itu telah terjadi tumbukan lempeng samudra dengan lempeng benua di kawasan Karangsambung. Batuan ini berasal dari pasir yang mengandung mineral asam dari lempeng benua yang masuk ke zona subduksi dan berubah jadi sekis mika.

Fenomena geologi lain yang tersingkap di kawasan yang secara geografis membentang di Kebumen, Banjarnegara, dan Wonosobo adalah situs batu rijang dan lava basal berbentuk bantal di Kali Muncar. Batuan sedimen ini terbentuk di dasar samudra purba 80 juta tahun lampau. Batu ini memberi fakta kuat bahwa dahulu Karangsambung adalah dasar samudra yang terangkat oleh proses geologi.

Batuan sedimen berwarna merah memanjang sekitar 100 meter pada dinding Kali Muncar itu ibarat layar pertunjukan wayang kulit atau kelir dalam bahasa Jawa. Ini membuat warga setempat menamainya Watu Kelir. Terlebih, di bagian atasnya terdapat batuan beku yang bentuknya mirip kenong dan gong (alat musik Jawa)”[4]

Tidak heran jika pada tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan wilayah Karang Sambung sebagai cagar alam geologi di Indonesia. Hingga kini, wilayah Karang Sambung menjadi tujuan penelitian para mahasiswa geologi dari beberapa universitas ternama di Indonesia.

Dan tidak mengherankan pula jika beberapa pihak peneliti menghubung-hubungkan situs geologi Karang Sambung dengan benua Atlantis yang hilang. Salah satunya adalah upaya yang dilakukan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Doktor Waryani Fajar Riyanto (32)[5]. Penelitiannya didasarkan sebuah buku karya (Alm) Prof. Ario Santos berjudul, “Atlantis the Lost Continents Finally Found”. Dalam buku yang ditulis Ario santos yang juga seorang ahli nuklir, geologi dan fisika itu menyebutkan, Atlantik berada di pertemuan tiga lempeng benua yakni Australia, Eurasia dan Asia.

Namun tidak sedikit ahli yang meragukan dan menyanggah penelitian 30 tahun oleh Ario Santos sebagai “pseudo science” sebagaimana diungkapkan Thomas Djamaludin[6]

Budi Brahmantyo dalam salah satu argumen sanggahannya bahwa Indonesia bukanlah lokasi Atlantis yang hilang mengatakan sbb, “Tadinya saya pikir Prof. Santos akan berargumen dengan temuan-temuan baru geologis dan arkeologis di Indonesia. Namun alasannya rupanya lebih didasarkan argumen-argumen mitologi dan kebetulan-kebetulan atau kesamaan linguistik. Peta-peta dan buku-buku kuno Ramayana, Mahabarata, Iliad, dll. serta dongeng-dongeng yang tersebar di seantero dunia dari tradisi Yahudi Kuno, Kristiani Awal, kepercayaan-kepercayaan pagan yang menyembah berhala, adalah referensi untuk menyatakan argumennya bahwa akhirnya benua Atlantis yang hilang telah ditemukan (di Indonesia), seperti judul bukunya”[7]

Saya tertarik dengan sejumlah informasi mengenai Karang Sambung dan sekalipun pernah melewatinya dalam beberapa kesempatan namun saya bersama rombongan ingin membuktikan telaah dan kekaguman para ahli baik dalam negeri dan luar negeri dengan mencoba berinteraksi dan bersentuhan langsung dengan alam dan bebatuan Karang Sambung.

Sayangnya, akibat kekurangan informasi, saya dan rombongan harus menahan kecewa karena saat mendatangi kantor LIPI ternyata pada hari Minggu tutup dan tidak melayani tour guide sehingga saya dan rombongan berusaha untuk mencari-cari sendiri lokasi-lokasi geologis yang diulas dalam beberapa situs dan laman di internet.

Pencarian sungguh mengecewakan karena kami harus mencari dengan minim informasi sehingga perjalanan setengah hari sampai jauh ke utara hingga mendekati wilayah Wonosobo, tidak membuahkan hasil. Kami harus berulang kali bertanya, turun dari mobil, berjalan kaki beberapa ratus meter di jalanan desa dengan bekal bertanya mengenai sejumlah lokasi penting yang dituliskan beberapa penulis dan peneliti sebelumnya. Hasilnya bukan saja nihil namun mengecewakan. Betapa tidak, informasi penduduk antara satu dengan yang lain (dalam satu desa atau lain desa) sungguh membingungkan. Ketika saya bertanya mengenai dimana lokasi Watu Kelir, ada menunjuk arah tertentu namun ketika diikuti justru mengarah pada arah yang keliru dan ketika meminta konfirmasi masyarakat dimana kami bertanya justru kami mendapatkan informasi yang berlawanan, demikian seterusnya.

Saya berkesimpulan bahwa minimnya informasi dan simpang siurnya informasi penduduk di sekitar Karang Sambung dikarenakan beberapa hal. Pertama, lokasi geowisata Karang Sambung masih hanya menjadi konsumsi wisatawan kalangan terbatas, dalam hal ini akademisi dan para mahasiswa yang berkepentingan dengan situs geologi Karang Sambung sehingga belum menjadi minat wisatawan non akademis yang menimbulkan  gairah membuka usaha semacam warung atau toko cinderamata selain di kantor LIPI. Terbukti di wilayah-wilayah yang kami datangi tidak ditemukan sejumlah warung bagi wisatawan. Kedua, masyarakat belum merasa memiliki sehingga kepedulian memberikan informasi penting yang seharusnya disampaikan ketika ada pengunjung, tidak dapat secara maksimal disampaikan selain didasarkan dugaan-dugaan belaka.

Kesimpulan saya di atas ternyata pernah dikeluhkan oleh sejumlah pengunjung saat mereka melaksanakan kegiatan di wilayah Karang Sambung sebagaimana saya kutipkan laporan Komper Wardopo, “Namun sayang, selama ini fasilitas pendukung masih sangat minim. Misalnya, akses jalan yang belum memadai. Meski jalan Mertokondo - Karangsambung kini sudah mulus, namun dari kantor BIKK ke daerah Sadang, jalan masih rusak parah. Fasilitas penunjang lain juga belum ada, seperti warung makan dan penjual suvenir/kerajinan. Tentu saja hal itu memerlukan adanya kerja sama yang baik antara masyarakat setempat dengan Pemkab Kebumen, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan”[8]

Ada peristiwa menarik dan menggelikan saat kami “blusukan” pada jalur yang salah lalu kami menemukan seorang bocah cilik yang ketika ditanya mengenai lokasi “Watu Kelir”, dia tanpa banyak bicara langsung mengajak kami mengikuti langkah kakinya yang cepat. Namun ketika saya mendapati arah langkah dia menuju jalanan desa yang semakin sempit dan tidak dilalui oleh kebanyakan orang, saya menghentikan langkahnya dan bertanya padanya, “kamu benar-benar tahu lokasinya dik?” Dengan lugu dia menjawab, “tahu....tapi di sana (Watu Kelir) banyak hantunya?” “Apa?” teriak saya. Bukan takut pada hantu hanya aneh dan penasaran saja dengan ucapan yang baru saya dengar tersebut.

“Memangnya hantunya seperti apa?” tanya saya. Dia menjawab, “Anu..hantunya macan....munculnya setiap hari sabtu dan minggu”. Sambil tertawa dan terkejut saya menegur dia, “kalau tahu ada hantunya, kenapa kamu membiarkan kita ke sana dan kamu berani mengantar?” dengan datar dia menjawa, “Anu....saya hanya mengantar sampai ke jalan menuju lokasinya setelah itu bapak aja yang ke sana sendiri.....”

Akhirnya saya memberi uang jajan pada anak itu dan membatalkan perjalanan yang entah menuju tempat yang benar atau menuju tempat yang salah tersebut dan pulang dengan rasa kecewa.

Namun dalam perjalanan pulang, sempat kami terhambat beberapa jam karena ban mobil meletus tiba-tiba. Setelah mobil dapat berjalan kembali, sisa waktu yang tersedia sore itu, kami menemukan beberapa lokasi menarik berupa bukit bebatuan yang menjulang dan membentang di sejumlah lokasi tertentu. Sayang, saya tidak bisa memberikan penjelasan dan keterangan dalam blog ini mengingat saya dan rombongan berangkat tanpa pendampingan dari petugas LIPI Karang Sambung.








Namun ada beberapa catatan yang menjadi keprihatinan saya terhadap situs geologi Karang Sambung. Di sejumlah situs bebatuan, ditemui bongkahan-bongkahan kecil bebatuan yang telah ditumbuk dengan menggunakan alat penghancur sementara di wilayah situs tersebut ditulis “Tanah Negara” dan ada larangan untuk melakukan penggalian atau pengambilan bebatuan di areal tersebut. Jika situs-situs bebatuan Karang Sambung adalah cagar alam yang dilindungi namun kegiatan-kegiatan penghancuran bebatuan alam tersebut dibiarkan terus terjadi, bukankah tindakan tersebut akan merusak bentang alam yang ada dan mengubah struktur dan kontur wilayah yang pada akhirnya akan menghilangkan situs geologis tertentu dalam jangka panjang?

Belum lagi aktifitas penambang pasir (yang dalam batas tertentu memang diperlukan untuk membuang pendangkalan air sungai) dengan  menggunakan alat-alat yang dapat menyedot kandungan bebatuan mulia di dalam pasir, mengingat sepanjang Kali Luk Ula dipenuhi dengan situs bebatuan geologis penting. Dalam salah satu situs dikeluhkan mengenai ulah penambang pasir sbb, “Mencari bahan dasar berupa batuan untuk dijadikan akik di sungai luk Ula sangat sulit. Hal ini disebabkan oleh kegiatan eksplorasi pasir secara besar – besaran yang telah berlangsung lebih dari 25 tahun ini dengan menggunakan mesin sedot, sehingga batuan – batuan mulia ikut tesedot dan terbawa oleh truk pasir ke tempat – tempat konsumen pasir, tidak hanya di dalam kabupaten Kebumen saja, tetapi sampai ke luar kabupaten, dikarenakan kualitas pasir Luk Ula yang dikenal unggul sejak dahulu. Selain aktivitas penambangan pasir, hal lain yang menyebabkan langkanya batuan Luk Ula adalah banyaknya kolektor dari luar kota bahkan macanegara seperti Jepang, Korea, Cina, dan lain – lain yang membeli dan mengangkut bongkahan – bongkahan batuan berkualitas Luk Ula Karangsambung yang tidak jarang menggunakan kendaraan berat. Batuan berupa bongkahan besar tersebut dijadikan hiasan taman bernilai tinggi. Keadaan ini sangat sulit dicegah sebab batuan – batuan ini tidak hanya tersebar di tanah milik LIPI saja, akan tetapi lebih banyak dan beragam di tanah milik warga. Kondisi ekonomi warga yang pas – pasan dan medan pegunungan menjadikan batuan – batuan ini sebagai sumber mata pencaharian warga. Harga murah untuk batu berkualitas tinggi ini tidak menjadi masalah bagi warga yang sehari – harinya mayoritas bergantung pada alam Luk Ula dan Karangsambung. Efek kelangkaan seperti yang terjadi sekarang ini pun tidak dihiraukan warga”[9].

Tidak mengherankan jika akhir-akhir ini ada sejumlah protes masyarakat Karang Sambung terhadap aktifitas penambangan pasir yang menyalahi aturan. Dalam sebuah pernyataan, Sekretaris Daerah (Sekda) Kebumen, H. Adi Pandoyo, SH., Msi berharap agar masyarakat tidak berbuat anarkis dalam menyikapi penambangan pasir di sepanjang sungai Luk Ulo. Sebab, Pemkab Kebumen telah membentuk tim terpadu guna menyelesaikan masalah penambangan pasir yang sudah membuat resah warga karena merusak lingkungan dan fasilitas umum seperti jalan[10]. Memang demikian memprihatikan kondisi jalan di sepanjang Kali Luk Ulo menuju Karang Sambung. Selian berlubang dan rusak, juga mengalami gogos di beberapa ruas jalan yang dapat membahayakan pengendara mobil dan motor.

Belum lagi tingkat pemahaman masyarakat yang masih rendah terhadap nilai batuan yang dijual di sekitar rumah mereka terhadap pembeli dan kolektor batu mulia masih menjadi kendala tersendiri sebagai dikeluhkan Rahmat Dianto dalam komentarnya, “Fenomena dan pemahaman masyarakat awam terhadap tingginya harga dan klas dari batu luar menjadikan kesenangan bagi para kolektor batu baik dalam negeri maupun luar negeri seperti China, Jepang Korea dan lain – lain yang dengan mudah dan murahnya membeli dan mengangkut bongkahan – bongkahan besar batuan Luk Ula ke tempat mereka, sementara masyarakat umum dikondisikan untuk berburu batu luar negeri atau luar pulau. Kecerobohan juga terjadi di beberapa daerah dimana para pecinta akik membeli batu – batu Luk Ula yang khas tersebut kemudian diatasnamakan batuan dari daerah mereka. Tentunya mereka tidak memperhitungkan sisi geologis bahwa batuan Luk Ula adalah jenis batuan dengan ciri khusus yang tidak dimiliki oleh daerah di belahan bumi manapun”[11]

Menjadi tugas Pemda dan Instansi terkait serta masyarakat untuk secara sinergis menjaga kelestarian dan kesinambungan alam Karang Sambung yang menjadi salah situs geologis penting di Asia Tenggara. Kenyamanan jalan, ketertiban penambang pasir, pembelajaran masyarakat terhadap potensi alam kebumian Karang Sambung harus menjadi pekerjaan rumah dan perhatian khusus pihak-pihak terkait agar ke depan kelak, potensi alam dan kebumian serta situs geologis Karang Sambung menjadi situs yang dikelola lebih profesional.
Salah satu langkah mendekatkan dan penyadaran masyarakat terhadap keutamaan situs geologi Karang Sambung sejak dini adalah melalui wacana menjadikan potensi kebumian Karang Sambung sevagai bagian kurikulum sekolah. Upaya itu ditempuh melalui Seminar Sehari Materi Kebumian Untuk Bahan Ajar dengan tujuan untuk menggali lebih dalam potensi alam di Kebumen.  Kegiatan ini diikuti oleh puluhan guru IPS dan Geografi tingkat SMP/MTs, SMA/MA dan SMK di Auditorium Graha Grafika,Gombong,baru-baru ini. Ketua Panitia Kegiatan, Drs Agus Eko Purnomo SPd mengatakan “dua kawasan cagar alam tersebut merupakan fakta ilmiah yang harus digalim dan dipelajari untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pelajar di Kebumen...Idealnya guru harus memiliki referensi yang banyak terkait fakta ilmiah pengetahuan geografi/IPS di sekitar Kebumen”[12].

Upaya di atas tidak berlebihan mengingat usia bebatuan yang diperkirakan 65-120 juta tahun. Lebih tua dari situs Stonehenge di Wiltshire Inggris yang diperkirakan dari tahun 2400-2200 sM. Apa Stonehenge itu?





Stonehenge adalah monumen prasejarah di daerah Wiltshire Inggris, sekitar 2 mil (3,2 km) barat Amesbury dan 8 mil (13 km) utara Salisbury. Sebagai salah satu situs paling terkenal di dunia, Stonehenge adalah sisa-sisa sebuah cincin batu berdiri yang diatur dalam sebuah urugan batu. Keberadaannya di tengah-tengah kompleks monumen yang paling padat dari zaman Neolitik dan Zaman Perunggu di Inggris, termasuk beberapa ratus gundukan pemakaman. Arkeolog percaya Stonehenge dibangun sekitar 3000 - 2000 sM,. Penanggalan radiokarbon pada tahun 2008 menyatakan bahwa batu pertama muncul antara 2400 dan 2200 sM, sementara teori lain menunjukkan bahwa bluestones mungkin telah didirikan paling dini 3000 sM. Beberapa ahli menetapkan kedudukan bebatuan aneh tersebut berfungsi sebagai pemakaman kuno dikarenakan temuan tulang manusia berusia paling dini 3000 sM[13]

Kiranya para pejabat pemerintahan Kebumen dan Kecamatan Karang Sambung serta aparat terkait juga masyarakat dapat mengenai kepentingan dan potensi situs geologi dan dan menjaga keberlangsungannya secara terpadu

-----------------------------------------------------------------------

[1] Gregorius Magnus Fineso, Memahami Semesta Karang Sambung
http://travel.kompas.com/read/2012/11/12/10230463/Memahami.Semesta.di.Karangsambung

[2] Ibid.,

[3] Melihat Laboratorium Alam Geologi Terlengkap di Dunia

http://www.sainsindonesia.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72:melihat-laboratorium-alam-geologi-terlengkap-di-dunia&catid=17&Itemid=116

[4] Op.Cit., Memahami Semesta Karang Sambung

[5] Kota Atlantik di Kebumen di Teliti
http://kebumen2013.com/kota-atlantik-di-kebumen-diteliti/

[6] Ilmuwan Indonesia: Atlantis itu Pseudo Science
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/100793ilmuwan_indonesia__atlantis_itu_pseudoscience

[7] Budi Brahmantyo, Mitos Modern Prof Santos: Atlantis Adalah Indonesia
http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=418

[8] Komper Wardopo, Geopark Terlengkap yang Masih Minim Fasilitas
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/05/29/148047/Geopark-Terlengkap-yang-Masih-Minim-Fasilitas-

[9] Batuan Luk Ula dan Daya Energinya
http://batumulialukula.wordpress.com/2012/04/13/batuan-luk-ula-dan-daya-energinya/

[10] Warga Diminta Tidak Anarkis, Kebumen Ekspress, 25 Februari 2013, hal 1

[11] Batuan Dari Daerah Karang Sambung, Kebumen
http://diantorachmat19.blogspot.com/2012/12/batuan-dari-daerah-kebumen.html

[12] Materi Kebumian Didorong Untuk Bahan Ajar
http://www.kebumenkab.go.id/index.php/public/news/detail/958

[13] Stonehenge
http://en.wikipedia.org/wiki/Stonehenge


Sumber : by Teguh Hidarto di http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2013/02/pesona-situs-geologi-karang-sambung.html

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Posts

Popular Posts

Text Widget