Proyek Seismic 4-D untuk monitoring reservoir merupakan kunci utama didalam keberhasilan peningkatan recovery minyak bumi dan pengurangan biaya operasi.
Aktifitas produksi dan EOR (Enhanced Oil Recovery) menyebabkan perubahan sifat fisis pada reservoir. Perubahan sifat fisis tersebut diantaranya: saturasi fluida, tekanan, temperatur yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan Impedansi Akustik dari reservoir.
Adanya perubahan Impedansi Akustik di atas dapat dimonitor dengan melakukan survey seismik kembali (Monitor). Dimana perbedaan sifat seismik antara survey Monitor dengan survey awal (Baseline) dikenal dengan studi Seismic 4-D.
Perubahan kecepatan gelombang seismik dan densitas reservoir tergantung pada jenis batuan, sifat fluida dan depletion mechanism. Injeksi gas dapat mengakibatkan peningkatan tekanan pori sehingga terjadi penurunan kecepatan gelombang seismik, sebaliknya pergantian minyak oleh air dapat mengakibatkan peningkatan kecepatan dan densitas.
Sebelum melakukan survey seismik 3D untuk tahap monitoring, studi kelayakan dengan melakukan seismic modeling harus dilakukan. Modeling ini bertujuan untuk melihat sensitifitas gelombang seismik (khususnya Detectability dan Fidelity) terhadap perubahan Impedansi Akustik reservoir akibat proses produksi. Modeling tersebut harus meliputi semua skenario yang bisa terjadi seperti substitusi fluida, saturasi, penurunan tekanan akibat proses produksi yang menyebabkan tekanan minyak turun dibawah bubble point, kenaikan temperatur akibat injeksi uap, perilaku carbonate versus clastic reservoir, Net to Gross, Permeabilitas, jenis wavelet, frekuensi, noise, dll.
Courtesy Norsar
Gambar di atas mengilustrasikan hasil modeling untuk data seismik awal (Baseline) dan Difference yakni perbedaan antara Monitor dan Baseline, perhatikan respon 4D pada penampang Difference, menunjukkan perubahan sifat reservoir yang signifikan.
Selanjutnya, setelah lulus dari studi kelayakan, data seismik monitor harus memiliki Repeatability yakni derajat kemiripannya dengan data awal (Baseline) pada zona non-produksi. Ketidakmiripan antara data Monitor dan Baseline, bisa diakibatkan oleh perbedaan parameter pengambilan data seismik i.e. bin size, panjang streamer, orientasi pengambilan data, jumlah trace dalam tiap CDP, tide, parameter pengolahan data seismik, dll.
Repeatability dapat dikuantifikasi dengan menghitung Normalized RMS-Amplitude Difference (NRMSD). Repeatability yang tinggi ditunjukkan dengan nilai NRMSD yang sangat kecil. Gambar di bawah ini menunjukkan histogram NRMSD untuk beberapa proses seismik: sebelum diproses (merah), tidal correction (biru), swell noise removal (hijau), channel smoothing (magenta) dan demultiple (biru muda). Perhatikan bahwa semakin sempurna processing seismik, histogram NRMSD akan terdorong ke nilai rendah (lihat garis kuning sebagai acuan).
Li et al., EAGE 66th Conference & Exhibition, 2004
Dikarenakan Survey Monitor dilakukan pada tahap produksi dimana fasilitas dan infrastruktur telah banyak berdiri. Sehingga, pada umumnya lay out survey serta parameter akuisisi seismik akan berbeda dari Baseline.
Survey seismik pada daerah dengan infrastuktur diatasnya. Courtesy Geco-Parkla
Seperti diilustrasikan pada gambar di bawah ini, sebelah kiri menunjukkan lay out survey dan gambar sebelah kanan menunjukkan perbedaan distribusi bin.
Courtesy James Rickett, Stanford University, and David E. Lumley, Chevron Petroleum Technology Company
Akibat adanya perbedaan parameter tersebut di atas, maka data seismik yang dihasilkannya pun akan berbeda pula. Gambar di bawah ini menunjukkan perbandingan antara penampang seismik untuk Monitor dan Baseline untuk parameter akusisi diatas. Perhatikan, Repeatability data tersebut sangat rendah i.e. keduanya menunjukkan perbedaan resolusi, amplitudo, frekuensi dan fasa(?) yang sangat mencolok pada zona non produksi.
Courtesy James Rickett, Stanford University, and David E. Lumley, Chevron Petroleum Technology Company
Dengan demikian, sebelum kita memproduksi penampang Difference beberapa proses harus dilakukan sehingga derajat Repeatability-nya dapat ditingkatkan. Proses tersebut diantaranya: survey realignment sehingga kedua data memiliki grid dan bin yang sama, koreksi statik (tidal correction), dan penggunaan model kecepatan yang sama baik untuk NMO maupun migrasi, penyamaan panjang gelombang (frekuensi) dan fasa untuk mengkompensasi perbedaan wavelet sumber dan amplitude balancing sehingga keduanya memiliki level energi yang sama, dll. Proses processing tersebut dikenal dengan Cross Equalization.
Proses Cross Equalization memerlukan sebuah operator wavelet yang diestimasi pada window waktu tertentu (zona statik, non reservoir) baik dangkal maupun dalam sehingga fasa, amplitudo, frekuensi, dll. dari kedua data seismik tersebut benar-benar identik.
Gambar di bawah ini menunjukkan perbandingan data Baseline dan Monitor setelah berbagai proses diatas. Perhatikan pada zona statik (non reservoir – non produksi), keduanya menunjukkan karakter yang sama.
Courtesy James Rickett, Stanford University, and David E. Lumley, Chevron Petroleum Technology Company
Analisis detail perlu dilakukan untuk melihat perubahan karakter seismik pada zona reservoir. Analisis ini dikenal dengan trace to trace comparison. Gambar di bawah ini menunjukkan trace to trace comparison pada zona reservoir yang setelah injeksi uap.
Courtesy Li et al, TLE 2001.
Pada gambar di atas terlihat bahwa karakter seismik untuk zona overburden tidak berubah. Akan tetapi efek injeksi uap menyebabkan perubahan amplitudo pada zona reservoir yakni penurunan Impedansi Akustik. Pada base-reservoir time shifting dapat terjadi sebagai velocity sag, dengan demikian sebelum memproduksi Difference proses local time-shifting perlu dilakukan.
Gambar di bawah ini menunjukkan respon seismik 4D untuk monitoring pergerakan fluida (air atau uap) oleh sumur injector. Perhatikan perbedaan respon seismik yang berbeda dari injector satu ke injektor yang lainnya.
Courtesy Paulo Johan et al., TLE, 2009
0 komentar:
Posting Komentar